Kisah Pecinta Kopi

08.35 Rizka Ilma Amalia 53 Comments



Kau akan mengenali cinta yang abadi dari seorang perempuan dan prianya yang pecinta kopi. Kau akan mengerti setelah menyelesaikan cerita ini.

***
Ia tak pernah melihatku. Tapi ia selalu berdoa untuk kehadiranku. Aku mengenalnya dari orang-orang sekitar.

“Jangan pernah dekati rumah itu. Ada perempuan gila di dalam sana,” seorang wanita tua berbadan gendut, berbicara kepada seorang wanita tua yang bertubuh kurus tinggi, yang baru saja pindah ke samping rumah perempuan pecinta kopi itu. Wanita tua bertubuh kurus itu bergidik.

Aku sudah mengenal baik perempuan itu. Menurutku ia tidak gila. Mungkin, karena perempuan itu jarang bersosialisasi dengan tetangganya. Ia keluar hanya untuk membeli makan dan minum kopi dengan sang kekasih. Ibu-ibu memang selalu pandai menggunjing orang.

Perempuan itu sering datang ke kafe kopi. Merupakan salah satu kafe favorit yang ada di kotanya, juga menjadikannya tempat favorit sepasang kekasih itu. Hampir setiap hari mereka ke sana. Semua orang mengetahuinya.

Hari ini sang kekasih meminta perempuan itu untuk mengenakan gaun merah yang diberikannya pada saat hari jadi mereka yang ke dua, tahun lalu. Perempuan itu tak mempersoalkan tentang gaunnya, sebab ukurannya pun masih pas. Gaun merah itu melekat indah pada tubuhnya, dengan wajah yang dirias tipis, dan sedikit menyemprotkan parfum beraroma kopi. Semua hal yang disukai kekasihnya. Ditatapnya cermin, seketika semburat merah muda muncul di pipinya yang agak tirus. Tersenyum.

Kini perempuan itu menggerak-gerakkan kakinya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menunggu taksi yang lewat, gelisah. Ia khawatir akan terlambat lagi, kekasihnya pasti akan melontarkan ceramah yang tak kunjung usai “kamu selalu saja begini, tidak pernah berubah. Kamu harus belajar menghargai waktu, sayang.” Perempuan itu mengeluarkan telepon genggamnya. Dengan cepat jemari yang dihiasi kuteks berwarna hitam sepekat kopi itu mengetik pesan:

“Sayang, aku masih di jalan. Maaf, sedikit telat. Tunggu aku, ya.”

Perempuan bergaun merah itu kini duduk di kursi penumpang. Matanya menjuru pada jalan. Lengang. Membuatnya akan lebih cepat sampai pada pelukan kekasihnya. Seperti biasa pesannya tak dibalas. Perempuan itu menyimpul senyum. Ia tahu persis kekasihnya.

Hidungnya meraba udara, mencium aroma kopi kesukaannya. Terbayang jelas pelukan hangat, sehangat kopi yang baru dihidangkan. Juga ciuman yang manis dan sedikit pahit. Membuat jantung perempuan itu berdegub lebih cepat dan berirama. Kekasihnya itu seperti kopi yang diminumnya berkali-kali. Sebuah candu yang nikmat.

“Sudah sampai, Neng,” supir taksi itu menengok ke belakang, bersamaan dengan lengan yang kontras sekali dengan kuteks hitamnya--mengulurkan uang seratus ribuan.

“Kembaliannya ambil saja, Pak.”

“Iya, terimakasih,” supir taksi itu menatapnya ragu.

“Loh? Kenapa, Pak? Kurang, ya?” perempuan itu meraba isi dompetnya lagi.

“Ngg.. Nggak Neng, nggak kok,” supir taksi itu mengambil uangnya dengan tergesa. Sedikit menyunggingkan senyum pahit.
Perempuan itu tidak tersinggung. Sudah terbiasa, mungkin.

Di depan kafe kopi, ia berdiri sejenak. Membeku. Kemana mereka semua? Perempuan itu berbisik. Tak ada yang menyapa. Kaki itu mulai melangkah ragu. Ia merasa ada yang berbeda di sana. Hingga sampai di ujung pintu, tiba-tiba semua lampu menyala. Ia mengerjap. Di lihatnya sang kekasih merentangkan lengannya, seolah ia punya sayap dan siap membawanya terbang.

“Selamat hari jadi kita yang ke tiga tahun, sayang.” Tak ragu-ragu lagi perempuan itu menjatuhkan kepalanya di sana, tepat di dada sang kekasih.

Mereka semua bertepuk tangan, satu-dua ada yang bersiul. Seperti yang dibayangkannya. Bersamaan dengan alunan musik romantis, sang kekasih mencumbunya dengan ciuman yang manis dan sedikit pahit. Sepasang kekasih itu seperti lukisan indah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Mereka yang melihat ‘lukisan indah’ itu sebagian ada yang terharu dan ikut berbahagia, sebagiannya lagi ada yang mencibir. “Kenapa, sih, perempuan gila itu selalu ke sini?” Ucap gadis berkuncir ekor kuda. Gadis yang bercelemek putih itu mengiyakan. “Kau juga kenapa, sih? Wajar saja kan, karena dia kekasihnya Tuan. Dan hey! Sudah berkali-kali kubilang ia tidak gila!” Pria berjas putih itu kesal.

Hampir saja mataku kehilangan jejak sepasang kekasih itu. Dengan cepat, mataku menangkap mereka duduk di meja paling pojok dekat jendela. Meja favoritnya. Di sisi masing-masing, berdiri secangkir kopi mungil kesukaan. Aku pikir kekasih itu akan mengambil lengan si cangkir kopi seperti biasanya, ternyata malam ini ia lebih tertarik pada jemari perempuan berkuteks sehitam kopi. Sembari menjulurkan kotak merah yang tersisip cincin bertuliskan namanya, “maukah kau menikah denganku?” ucapnya dengan lembut. Perempuan itu menatapnya dengan binar yang tak dapat diungkapkan. Dengan cepat ia mengangguk. Sempurna sudah yang namanya bahagia.

Aku bisa mendengar suara hatinya. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Sudah ku duga, ia perempuan yang baik, dan tidak gila.

‘Lukisan indah’ itu, aku menatap dari meja lainnya. Aku lirik jam di dinding kehitaman milik kafe kopi. Waktunya tinggal sebentar lagi.

Sekarang, kopi milik mereka sudah berkurang setengah cangkir. Namun, aromanya masih tercium lembut, membuatnya nyaman berlama-lama.

“Sayang, malam sudah terlalu larut. Mau kuantar pulang?”
“Tumben, biasanya kau tidak bisa. Selalu saja sibuk dengan pekerjaanmu.” Perempuan itu memajukan bibirnya. Lucu.
“Tidak untuk malam ini,” kekasih itu menggenggam jemari perempuannya, “malam ini, aku milikmu seutuhnya, sayang.” Perempuan itu tak mampu lagi menyembunyikan senyum.

Ini waktu yang tepat! Dengan penuh keyakinan, kulangkahkan kaki ke meja sepasang kekasih itu. Tepat di depan sang perempuan, aku berlutut, “izinkan aku mengantarmu, Putri. Ini permintaan Tuan, sudah waktunya pulang.”

Perempuan itu menatap kekasihnya, mengangguk meyakinkan. Ia tersenyum bahagia. Kafe kopi itu memainkan musik indahnya lagi. Perlahan-lahan dari hati sang perempuan, muncul kupu-kupu dengan warna yang berbeda. Indah. Kupu-kupu itu mulai mewarnai dinding-dinding kafe kopi yang hitam.
Sejenak.
Kemudian hilang mengabadi.

***

Semburat mentari memasuki ruang-ruang kafe kopi lewat celah yang ada. Tak ada lagi warna-warni, hanya jingga yang tinggal. Para pekerja dan sebuah mesin sudah berkumpul di depannya. Siap meruntuhkan bangunan kafe kopi, bekas kejadian kebakaran satu tahun yang lalu.
“Sebentar! Aku mencium aroma kopi bercampur bangkai di dalam sana. Cepat periksa!” Seorang pimpinan memerintah pekerjanya.

Ditemukannya perempuan bergaun merah, dengan tangan yang menggenggam pecahan cangkir kopi, tepat di dadanya. Jemari itu kini berkuteks hitam sepekat kopi dan merah sekental darah.

Perempuan itu.
Perempuan gila.

Hampir setiap hari ia ke sini, menemui kekasihnya. Pemilik kafe kopi, yang tewas terbakar bersama karyawan dan penikmat kopi lainnya.

Perempuan itu. Semua orang mengetahuinya.

***


Hai! Tulisan kali ini untuk meramaikan kegiatan #memfiksikan setiap hari Jumat. #memfiksikan kali ini spesial, loh! Soalnya temanya aku yang menentukan; "KOPI"! Yeay. \^^/

Mau curhat sedikit. Padahal temanya aku yang buat, tapi kenapa malah nge-blank, ya? Untung nge-blank nya tidak berkepanjangan. Kata kak Agung, minggu kemarin waktu menentukan tema, dia juga kayak gitu. Apakah ini sebuah kutukan untuk sang pemberi tema? -_-"

Becanda. :p

Segitu saja #memfiksikan kali ini. Agak panjang, ya? Soalnya Jumat kemarin aku bikin puisi. Sekarang coba bikin cerpen. Komentarnya dong kakak~ Kritik dan sarannya juga boleeh~ Terimakasih~ \o/


You Might Also Like

53 komentar:

  1. Twist-nya dapet. Tapi, POV-nya orang pertama apa ketiga, ya? Ganti-ganti. Gue bingung. Pas ganti nggak pake tanda *** ? Alurnya bagus. Diksinya juga oke. Semangat! Jumat depan ikut lagi ya, Riz. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tumben Lu gak ngomentarin EYD-nya, Yog? Kan ada itu "..yang ke dua" mestinya "kedua" atau "degub" harusnya "degup". xD

      Tapi gue sepakat ama lu, Yog. POV-nya bikin bingung. Saran sih, kalo endingnya mau ditwist begitu mending pake sudut pandang orang pertama, karena kalo pake sudut pandang yang lain, ceritanya jadi terkesan maksa.

      Hapus
    2. YOGA:

      Maksudnya, sih, sudut pandang orang pertama. Tapi bukan jadi tokoh utama. Dia menceritakan apa yang dilihatnya. Tokoh "aku"nya itu malaikat pencabut nyawa. Bingung, ya? Hahaha. Iya terima kasih loh kritik dan sarannya. InsyaAllah ikut lagi.. Masih mau belajar. Semangaat! \o/


      HOW HAW:

      Ahaha iyaya, tumben. :))
      Eh iya, itu ada yang salah ya.. Makasih loh udah ngasih tau. :D

      Emang sih, sengaja dibikin bingung. #ngeles :))
      Itu sudut pandang orang pertama kok, kayak yang aku bilang ke Yoga di atas tadi.
      Hahaha. Maaf yaa kalo udah bikin bingung. Namanya juga masih belajar. Terima kasih kritik dan sarannya. Jangan kapok yaa~~ \o/

      Hapus
    3. Haw : gue bukan editor. :))
      Males nanti dipandang sebelah mata. Maksud mau ngasih tau malah dianggep sok. Jahahaha.
      Rima : Ngerti. Cuma bingung pas ganti-gantinya. Susah loh POV yang lebih dari satu. Tapi kereenn! Semangat teruss :*

      Hapus
    4. Sial, nggak engeh. Baru baca komennya. Tadi nggak teliti. Ternyata malaikat. Pantes berasa orang ketiga yang tahu segalanya. Haha.

      Hapus
    5. YOGA:

      Haha iyaa malaikat pencabut nyawa, Yog. Ciee nggak teliti~ :))
      Terima kasih loh yaa semangatnyaa. Emotnya nggak nahan. :*
      Ahaha. \m/

      Hapus
    6. Nah, tadinya gue juga bingung soal siapa yang bercerita ternyata malaikat pencabut nyawa ya? Kalau ga baca bagian komentar gue gak akan tahu. Soal sudut pandang kalau ga salah ini namanya sudut pandang orang pertama - pelaku sampingan. Sudut pandang itu kalau ga salah ada tiga, sudut pandang orang pertama - pelaku utama, sudut pandang orang pertama - pelaku sampingan, dan sudut pandang orang ketiga - serba tahu.

      Soal ide ceritanya gue suka banget, jujur gue salut imajinasi Rima bisa menyambungkan kopi dengan cerita yang ngetwist begini. Di bagian penulisannya coba lagi rapiin penggunaan kata depan dan imbuhan "di" dan "ke". Kalau "di" atau "ke" menjadi kata depan, seharusnya dipisah. Overall baguslah, meskipun di bagian akhir (pas twist) kayak berasa lompat gitu. Nulis twist emang susah sih :)

      Sampai jumpa di #Memfiksikan Jum'at depan :D

      Hapus
    7. Berarti kurang nunjukkin deskripsi malaikatnya, ya? Haha. Iya pake sudut pandang itu..

      Iya nih, masih berantakan penggunaan imbuhannya. Nanti kedepannya berusaha diperbaikin lagi.. hehe
      Itu maksudnya berasa "lompat" gimana, ya? :/
      Btw, terima kasih banyak kritik dan saran, sama pujiannyaa. Aku juga masih belajar. :D

      Oke. :D

      Hapus
    8. Gatau juga sih jelasinnya gimana, soalnya tadi pas aku baca langsung kaget aja. Apa cuma perasaanku aja ya?

      Hapus
    9. Oh.. yaudah nggak usah dijelasin juga nggak apa-apa, kok. Hehehe ._.v

      Hapus
  2. Baru kejawab kenapa supir taksinya begitu pas nerima uang hahaha
    Twist-nya bagus. Gak kepikiran, sih, aku. Kok gila? Mananya yang gila? Kejawab semua sama ending-nya. Keren.
    Cuma mantepin EYD aja, sih. Penggunaan "di", "ke", "dari" sebagai imbuhan dan sebagai kata depan mesti diperhatikan lagi. Terus untuk penggunaan kalimat langsung juga. Terutama soal tanda baca sebelum kutip akhir. Kamu kebalik-kebalik di situ.
    Okaay, overall untuk yang sempat galau di Twitter gegara nge-blank, ini keren BGT! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya gila, kak. Soalnya sering ke kafe yang jelas-jelas bekas kebakaran. Yang ada di kafe kosong itu, dia kira manusia. Dia nggak tau kalau itu syaitan. Yaa ngobrol-ngobrol sendiri.. hehe.

      Iya nih kak masih bingung sama penggunaan kalimat langsung. Jadi yang bener tanda baca dulu baru kutip akhir, ya? Atau sebaliknya? :/

      Terima kasih kak Tiwiii, kritik dan sarannyaa.
      Hehehe. :D

      Hapus
  3. Sempet nggak ngeh sih di pembukaan awal . . Perasaan tu perempuan juga normal-normal aja . . Kok dikataain gila . .??
    Tapi begitu nyecroll kebawah . . Baru dong gue . .

    bagus kok critanya . . pengen bisa nulis kek gitu . . tapi kemampuan diksi gue setara dengan Amfibi . . -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe :3

      Yaampun kasian amfibinya disama-samain kayak kakak. :(
      Hahaha becanda. :D
      Ayoo coba bikin.. ikutan #memfiksikan Jumat depan. Kita belajar bareng-bareng.. Aku juga masih belajar.. Hehe :)

      Hapus
  4. Bagus, bikin gue penasaran juga sih, ini alurnya mau kek gimana, menyedihkan ternyata.hahaha

    BalasHapus
  5. Pas baca bingung kenapa gila twrus akhirannya kebakaran.. baca komen ternyata seperti itu.. kira2 itu imajinasinya,ilusi atau delusi ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu beneran, ceritanya cuma perempuan itu dan tokoh "aku" yang bisa melihat arwah-arwah korban kebakaran itu. Orang-orang normal nggak bisa melihatnya. Gitu, sih. Hehehe. Jadi apa namanya? :)

      Hapus
  6. Keren, diksinya oke banget.
    Sama, pas di awal agak nggak ngeh, ini emang musti di baca sampe selesai buat ngerti kayaknya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. :)
      Hehehe iya ceritanya memang musti dibaca semua, masa setengah-setengah. :D

      Hapus
  7. awalnya beneran bingung, sampe baca dua kali xD
    setelah baca komennya baru ngeh,, oh gitu. okesip, bagus ko

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha nggak apa-apa. Aku juga bacanya berkali-kali. xD
      Loh? berarti kalau nggak ada komentar di atas masih tersesat, ya? ._.
      Terima kasih udah bacaa. :)

      Hapus
  8. Setelah ngebaca komennya baru dah gue ngerti apa yang dimaksudkan diatas. Gue bingung sama endingnya yang begitu.

    Ceritanya bikin penasaran, gue baca terus, sampe endingnya malah bingung sendiri. Gue memang gak ngerti cerita nih, begini aja gak mudeng. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, memang sengaja pembaca dibikin bingung.. Maapin akuu yakk hahaha :')

      Hahaha iyaa nggak apa-apa koook.. Makasih yaa kak udah mau bacaa :3

      Hapus
  9. Haseeekkk. Makin keren aja nih tulisannya Rim. Ciee yang nentuin tema kopi cieee. Fiksinya bagussss! \:D/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih Devaaa~ *peluk kuat-kuat*
      Ciee yang bilang ciee, cieee.. Terima kasiiih.. Semoga nggak tersesat ya sama ceritanya. \o/

      Hapus
  10. Fiksi, ya. "Itu nama siapa, ya?"

    Pangeran mah, gak ngerti nulis ginian. Pangeran bisanya membaca dan menikmati. Kadang sedikit berbagi. Itu aja.

    Tapi mulai dari malaikat, wanita gila, dan para pendukung cerita. Pangeran terenyuh dengan gaya bahasa lu Rim. "Keren, deh. Ada sensadi deg-degan dikit."

    Kapan, ya. Pangeran bisa nulis fiksi. Ariel bilang : "Mungkin nanti."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada namanya.. Terserah pembaca aja mau ngasih namanya siapa.. ._.

      Tapi syukurlah kalau Pangeran masih bisa menikmati ceritanya.. :')

      Hehehe ini juga masih belajar, kok, Pangeraan. Terima kasih yaa udah mau bacaaa~ \o/

      Hapus
  11. Kopi emang selalu bisa jadi pengantar cerita yang baik. entah jadi sisipan atau inti cerita, kopi selalu menarik untuk dibaca

    BalasHapus
  12. wih, endingnya sama sekali ga bisa di tebak. tapi menurut gue sih sebaiknya sosok perempuan tersebut diberi nama yaa supaya tidak terlalu misterius. juga kalau mau membelokkan ending, lebih baik dikasih runtutan cerita terlebih dahulu kenapa kok bisa berending seperti itu. seperti cerita kamu, kenapa kok tiba-tiba kafe yang ditempatin perempuan itu bisa terbakar.
    mungkin itu saja sih saran dari gue, selebihnya udah bagus kok :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa.. kalau soal nama, emang sengaja dibikin biar pembaca aja yang ngasih namanya. :))
      Terus masalah sebab dari kebakaran.. makasih banget udah ngingetin. Hahaha. Aku lupa soal itu.
      Okee terima kasih banget looh kritik dan sarannyaaa. Jadi buat koreksi diri. ^^

      Hapus
  13. kok....
    ahh spicless (males ngetik speachless) jadinya.
    seperti biasa aku kagum sama oran yang nulis fiksi. karena aku gak bisa kykgitu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha itu teteup diketik juga. :))

      Tengs yaaa (males ngetik thanks juga). :))
      Hayuk belajar bareng-bareng.. Aku juga masih belajar.. ^^

      Hapus
  14. Hahaha kutukan :D
    Ini ceritanya kalo cuma dibaca selewat, kayaknya gak akan ngerti, ya? Tapi, ini keren. Serius. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ceritanya memang nggak ngebolehin pembaca buat baca selewat-selewat, kak. Huaha. :')

      Iya kak, aku memang keren. *kibas bulu hidung*

      Hahahaha nggak ding. Terima kasih yaaa. :D

      Hapus
    2. Aku harus baca tiga kali baru bisa ngerti. Belum sepenuhnya ngerti, sih. :D

      Oke, kamu keren!

      Hapus
    3. Pffftt~ Maapin tulisan aku kaaak. Banyak yang bingung. -__- Haha

      Hapus
  15. Tulisannya bagus, ceritanya juga.
    Mantep nih anak2 JB bikin #memfiksikan gini. Semoga makin banyak yang ikutan! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukurlah kalau suka. :)
      Aamiin. Ayoo kakak juga ikutan! Biar makin rame, makin seru. ^^
      Terima kasih ya udah baca. :D

      Hapus
  16. keren ceritanya, twistnya dapet. aku fikir, kenapa cewek otu gila, apa yang salah. ternyata oh ternyata, kasihan ya itu cewek.
    aku agak sedikit bingung sama povnya.

    btw #memfiksikan itu acara apaan sih? pengen dong ikutan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banyak yang bingung juga. Hehehe. Terima kasih yaa. :)

      Iyaa ikutan yuk Jumat depaan. #memfiksikan itu diadakan setiap hari Jumat. Temanya akan ditentukan hari kamisnya. Orang yang akan menentukan temanya nanti dipilih sama Kak Tiwi. #memfiksikan ini dibikin buat kita yang mau belajar fiksi. Baik cerpen, puisi, ataupun FF. Kalau mau jelasnya cek hashtag #memfiksikan di twitter. :D

      Hapus
  17. keren!
    gue uda baca beberapa memfiksikan yang bertema kopi juga :)
    fresh banget ya temanya tentang kopi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih! :D
      Iyaa fresh kayak orang yang ngasih temanya. #halah :))

      Hapus
  18. keren tulisannya :)
    dan ga kerasa ternyata udah sampe di ending aja huhu
    I want moooorrreee :p

    terus ditingkatkan ya, jangan kayak aku yang ga bakat nulis fiksi hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe thaaanks yaa :)

      Iya, ini juga masih belajar.. Heheh ayuk atuh belajar bareng :D

      Hapus
  19. nice info, aku juga suka dan kopi itu punya banyak manfaat untuk kecantikan dan kesehatan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. INI APAA?? EMANG AKU HABIS NGASIH INFO APAAN?! PFFTT. -____-
      Astagfirullloh...

      Hapus
  20. Sedih bangeeeet.. Kenapa harus sad endiiiing.. T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena pada kenyataannya jarang yang happy ending.. :')

      Hapus
  21. mbacanya itu... srrrr... sempat bingung dengan orang pertamanya, kalau malaikat pencabut nyawa mungkin bisa dikasi pengantarnya dikit.. hehehe... #saya hanya penikmat sastra, sama sekali nggak ngerti sastra... seperti penikmat kue yang sama sekali tidak tahu cara membuat kue... hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. maksudnya srrr itu... enak banget mbacanya mbak, bikin merinding juga... baguslah pokoknya, kayaknya udah bisa bikin buku sendiri... mbaknya anak sastra ya?

      Hapus
  22. Mantaaab!!!

    https://www.blogger.com/profile/10930593801069617327

    BalasHapus

Sudah selesai membaca? Terima kasih! :)
Komentar, yuk!
Sesungguhnya, sedikit komentar dari kalian akan berpengaruh besar untukku.

Rima bersabda:
"Barang siapa yang memberikan komentarnya dengan tulus dan ikhlas, maka akan dilipatgandakan jumlah viewers blognya."