Kisah Pecinta Kopi
Kau akan mengenali cinta yang abadi
dari seorang perempuan dan prianya yang pecinta kopi. Kau akan mengerti setelah
menyelesaikan cerita ini.
***
Ia tak pernah melihatku. Tapi ia
selalu berdoa untuk kehadiranku. Aku mengenalnya dari orang-orang sekitar.
“Jangan pernah dekati rumah itu. Ada
perempuan gila di dalam sana,” seorang wanita tua berbadan gendut, berbicara
kepada seorang wanita tua yang bertubuh kurus tinggi, yang baru saja pindah ke
samping rumah perempuan pecinta kopi itu. Wanita tua bertubuh kurus itu
bergidik.
Aku sudah mengenal baik perempuan
itu. Menurutku ia tidak gila. Mungkin, karena perempuan itu jarang
bersosialisasi dengan tetangganya. Ia keluar hanya untuk membeli makan dan minum
kopi dengan sang kekasih. Ibu-ibu memang selalu pandai menggunjing orang.
Perempuan itu sering datang ke kafe
kopi. Merupakan salah satu kafe favorit yang ada di kotanya, juga menjadikannya
tempat favorit sepasang kekasih itu. Hampir setiap hari mereka ke sana. Semua
orang mengetahuinya.
Hari ini sang kekasih meminta
perempuan itu untuk mengenakan gaun merah yang diberikannya pada saat hari jadi
mereka yang ke dua, tahun lalu. Perempuan itu tak mempersoalkan tentang
gaunnya, sebab ukurannya pun masih pas. Gaun merah itu melekat indah pada
tubuhnya, dengan wajah yang dirias tipis, dan sedikit menyemprotkan parfum
beraroma kopi. Semua hal yang disukai kekasihnya. Ditatapnya cermin, seketika
semburat merah muda muncul di pipinya yang agak tirus. Tersenyum.
Kini perempuan itu menggerak-gerakkan
kakinya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menunggu taksi yang lewat,
gelisah. Ia khawatir akan terlambat lagi, kekasihnya pasti akan melontarkan
ceramah yang tak kunjung usai “kamu
selalu saja begini, tidak pernah berubah. Kamu harus belajar menghargai waktu,
sayang.” Perempuan itu mengeluarkan telepon genggamnya. Dengan cepat jemari
yang dihiasi kuteks berwarna hitam sepekat kopi itu mengetik pesan:
“Sayang, aku masih di jalan. Maaf,
sedikit telat. Tunggu aku, ya.”
Perempuan bergaun merah itu kini
duduk di kursi penumpang. Matanya menjuru pada jalan. Lengang. Membuatnya akan
lebih cepat sampai pada pelukan kekasihnya. Seperti biasa pesannya tak dibalas.
Perempuan itu menyimpul senyum. Ia tahu persis kekasihnya.
Hidungnya meraba udara, mencium aroma
kopi kesukaannya. Terbayang jelas pelukan hangat, sehangat kopi yang baru
dihidangkan. Juga ciuman yang manis dan sedikit pahit. Membuat jantung
perempuan itu berdegub lebih cepat dan berirama. Kekasihnya itu seperti kopi
yang diminumnya berkali-kali. Sebuah candu yang nikmat.
“Sudah sampai, Neng,” supir taksi itu
menengok ke belakang, bersamaan dengan lengan yang kontras sekali dengan kuteks
hitamnya--mengulurkan uang seratus ribuan.
“Kembaliannya ambil saja, Pak.”
“Iya, terimakasih,” supir taksi itu menatapnya
ragu.
“Loh? Kenapa, Pak? Kurang, ya?”
perempuan itu meraba isi dompetnya lagi.
“Ngg.. Nggak Neng, nggak kok,” supir
taksi itu mengambil uangnya dengan tergesa. Sedikit menyunggingkan senyum
pahit.
Perempuan itu tidak tersinggung.
Sudah terbiasa, mungkin.
Di depan kafe kopi, ia berdiri
sejenak. Membeku. Kemana mereka semua? Perempuan
itu berbisik. Tak ada yang menyapa. Kaki itu mulai melangkah ragu. Ia merasa
ada yang berbeda di sana. Hingga sampai di ujung pintu, tiba-tiba semua lampu
menyala. Ia mengerjap. Di lihatnya sang kekasih merentangkan lengannya, seolah
ia punya sayap dan siap membawanya terbang.
“Selamat hari jadi kita yang ke tiga
tahun, sayang.” Tak ragu-ragu lagi perempuan itu menjatuhkan kepalanya di sana,
tepat di dada sang kekasih.
Mereka semua bertepuk tangan,
satu-dua ada yang bersiul. Seperti yang dibayangkannya. Bersamaan dengan alunan
musik romantis, sang kekasih mencumbunya dengan ciuman yang manis dan sedikit
pahit. Sepasang kekasih itu seperti lukisan indah yang tidak bisa diungkapkan
dengan kata-kata.
Mereka yang melihat ‘lukisan indah’
itu sebagian ada yang terharu dan ikut berbahagia, sebagiannya lagi ada yang mencibir.
“Kenapa, sih, perempuan gila itu selalu ke sini?” Ucap gadis berkuncir ekor
kuda. Gadis yang bercelemek putih itu mengiyakan. “Kau juga kenapa, sih? Wajar
saja kan, karena dia kekasihnya Tuan. Dan hey! Sudah berkali-kali kubilang ia
tidak gila!” Pria berjas putih itu kesal.
Hampir saja mataku kehilangan jejak sepasang
kekasih itu. Dengan cepat, mataku menangkap mereka duduk di meja paling pojok
dekat jendela. Meja favoritnya. Di sisi masing-masing, berdiri secangkir kopi
mungil kesukaan. Aku pikir kekasih itu akan mengambil lengan si cangkir kopi
seperti biasanya, ternyata malam ini ia lebih tertarik pada jemari perempuan
berkuteks sehitam kopi. Sembari menjulurkan kotak merah yang tersisip cincin
bertuliskan namanya, “maukah kau menikah denganku?” ucapnya dengan lembut. Perempuan
itu menatapnya dengan binar yang tak dapat diungkapkan. Dengan cepat ia
mengangguk. Sempurna sudah yang namanya bahagia.
Aku bisa mendengar suara hatinya. Tak
henti-hentinya ia mengucap syukur. Sudah ku duga, ia perempuan yang baik, dan
tidak gila.
‘Lukisan indah’ itu, aku menatap dari
meja lainnya. Aku lirik jam di dinding kehitaman milik kafe kopi. Waktunya
tinggal sebentar lagi.
Sekarang, kopi milik mereka sudah berkurang
setengah cangkir. Namun, aromanya masih tercium lembut, membuatnya nyaman
berlama-lama.
“Sayang, malam sudah terlalu larut. Mau
kuantar pulang?”
“Tumben, biasanya kau tidak bisa.
Selalu saja sibuk dengan pekerjaanmu.” Perempuan itu memajukan bibirnya. Lucu.
“Tidak untuk malam ini,” kekasih itu
menggenggam jemari perempuannya, “malam ini, aku milikmu seutuhnya, sayang.” Perempuan
itu tak mampu lagi menyembunyikan senyum.
Ini waktu yang tepat! Dengan penuh
keyakinan, kulangkahkan kaki ke meja sepasang kekasih itu. Tepat di depan sang
perempuan, aku berlutut, “izinkan aku mengantarmu, Putri. Ini permintaan Tuan,
sudah waktunya pulang.”
Perempuan itu menatap kekasihnya,
mengangguk meyakinkan. Ia tersenyum bahagia. Kafe kopi itu memainkan musik indahnya
lagi. Perlahan-lahan dari hati sang perempuan, muncul kupu-kupu dengan warna
yang berbeda. Indah. Kupu-kupu itu mulai mewarnai dinding-dinding kafe kopi
yang hitam.
Sejenak.
Kemudian hilang mengabadi.
***
Semburat mentari memasuki ruang-ruang
kafe kopi lewat celah yang ada. Tak ada lagi warna-warni, hanya jingga yang
tinggal. Para pekerja dan sebuah mesin sudah berkumpul di depannya. Siap
meruntuhkan bangunan kafe kopi, bekas kejadian kebakaran satu tahun yang lalu.
“Sebentar! Aku mencium aroma kopi
bercampur bangkai di dalam sana. Cepat periksa!” Seorang pimpinan memerintah
pekerjanya.
Ditemukannya perempuan bergaun merah,
dengan tangan yang menggenggam pecahan cangkir kopi, tepat di dadanya. Jemari
itu kini berkuteks hitam sepekat kopi dan merah sekental darah.
Perempuan itu.
Perempuan gila.
Hampir setiap hari ia ke sini,
menemui kekasihnya. Pemilik kafe kopi, yang tewas terbakar bersama karyawan dan
penikmat kopi lainnya.
Perempuan itu. Semua orang
mengetahuinya.
***
Hai! Tulisan kali ini untuk meramaikan kegiatan #memfiksikan setiap hari Jumat. #memfiksikan kali ini spesial, loh! Soalnya temanya aku yang menentukan; "KOPI"! Yeay. \^^/
Mau curhat sedikit. Padahal temanya aku yang buat, tapi kenapa malah nge-blank, ya? Untung nge-blank nya tidak berkepanjangan. Kata kak Agung, minggu kemarin waktu menentukan tema, dia juga kayak gitu. Apakah ini sebuah kutukan untuk sang pemberi tema? -_-"
Becanda. :p
Segitu saja #memfiksikan kali ini. Agak panjang, ya? Soalnya Jumat kemarin aku bikin puisi. Sekarang coba bikin cerpen. Komentarnya dong kakak~ Kritik dan sarannya juga boleeh~ Terimakasih~ \o/
Twist-nya dapet. Tapi, POV-nya orang pertama apa ketiga, ya? Ganti-ganti. Gue bingung. Pas ganti nggak pake tanda *** ? Alurnya bagus. Diksinya juga oke. Semangat! Jumat depan ikut lagi ya, Riz. :)
BalasHapusTumben Lu gak ngomentarin EYD-nya, Yog? Kan ada itu "..yang ke dua" mestinya "kedua" atau "degub" harusnya "degup". xD
HapusTapi gue sepakat ama lu, Yog. POV-nya bikin bingung. Saran sih, kalo endingnya mau ditwist begitu mending pake sudut pandang orang pertama, karena kalo pake sudut pandang yang lain, ceritanya jadi terkesan maksa.
YOGA:
HapusMaksudnya, sih, sudut pandang orang pertama. Tapi bukan jadi tokoh utama. Dia menceritakan apa yang dilihatnya. Tokoh "aku"nya itu malaikat pencabut nyawa. Bingung, ya? Hahaha. Iya terima kasih loh kritik dan sarannya. InsyaAllah ikut lagi.. Masih mau belajar. Semangaat! \o/
HOW HAW:
Ahaha iyaya, tumben. :))
Eh iya, itu ada yang salah ya.. Makasih loh udah ngasih tau. :D
Emang sih, sengaja dibikin bingung. #ngeles :))
Itu sudut pandang orang pertama kok, kayak yang aku bilang ke Yoga di atas tadi.
Hahaha. Maaf yaa kalo udah bikin bingung. Namanya juga masih belajar. Terima kasih kritik dan sarannya. Jangan kapok yaa~~ \o/
Haw : gue bukan editor. :))
HapusMales nanti dipandang sebelah mata. Maksud mau ngasih tau malah dianggep sok. Jahahaha.
Rima : Ngerti. Cuma bingung pas ganti-gantinya. Susah loh POV yang lebih dari satu. Tapi kereenn! Semangat teruss :*
Sial, nggak engeh. Baru baca komennya. Tadi nggak teliti. Ternyata malaikat. Pantes berasa orang ketiga yang tahu segalanya. Haha.
HapusYOGA:
HapusHaha iyaa malaikat pencabut nyawa, Yog. Ciee nggak teliti~ :))
Terima kasih loh yaa semangatnyaa. Emotnya nggak nahan. :*
Ahaha. \m/
Nah, tadinya gue juga bingung soal siapa yang bercerita ternyata malaikat pencabut nyawa ya? Kalau ga baca bagian komentar gue gak akan tahu. Soal sudut pandang kalau ga salah ini namanya sudut pandang orang pertama - pelaku sampingan. Sudut pandang itu kalau ga salah ada tiga, sudut pandang orang pertama - pelaku utama, sudut pandang orang pertama - pelaku sampingan, dan sudut pandang orang ketiga - serba tahu.
HapusSoal ide ceritanya gue suka banget, jujur gue salut imajinasi Rima bisa menyambungkan kopi dengan cerita yang ngetwist begini. Di bagian penulisannya coba lagi rapiin penggunaan kata depan dan imbuhan "di" dan "ke". Kalau "di" atau "ke" menjadi kata depan, seharusnya dipisah. Overall baguslah, meskipun di bagian akhir (pas twist) kayak berasa lompat gitu. Nulis twist emang susah sih :)
Sampai jumpa di #Memfiksikan Jum'at depan :D
Berarti kurang nunjukkin deskripsi malaikatnya, ya? Haha. Iya pake sudut pandang itu..
HapusIya nih, masih berantakan penggunaan imbuhannya. Nanti kedepannya berusaha diperbaikin lagi.. hehe
Itu maksudnya berasa "lompat" gimana, ya? :/
Btw, terima kasih banyak kritik dan saran, sama pujiannyaa. Aku juga masih belajar. :D
Oke. :D
Gatau juga sih jelasinnya gimana, soalnya tadi pas aku baca langsung kaget aja. Apa cuma perasaanku aja ya?
HapusOh.. yaudah nggak usah dijelasin juga nggak apa-apa, kok. Hehehe ._.v
HapusBaru kejawab kenapa supir taksinya begitu pas nerima uang hahaha
BalasHapusTwist-nya bagus. Gak kepikiran, sih, aku. Kok gila? Mananya yang gila? Kejawab semua sama ending-nya. Keren.
Cuma mantepin EYD aja, sih. Penggunaan "di", "ke", "dari" sebagai imbuhan dan sebagai kata depan mesti diperhatikan lagi. Terus untuk penggunaan kalimat langsung juga. Terutama soal tanda baca sebelum kutip akhir. Kamu kebalik-kebalik di situ.
Okaay, overall untuk yang sempat galau di Twitter gegara nge-blank, ini keren BGT! :D
Iya gila, kak. Soalnya sering ke kafe yang jelas-jelas bekas kebakaran. Yang ada di kafe kosong itu, dia kira manusia. Dia nggak tau kalau itu syaitan. Yaa ngobrol-ngobrol sendiri.. hehe.
HapusIya nih kak masih bingung sama penggunaan kalimat langsung. Jadi yang bener tanda baca dulu baru kutip akhir, ya? Atau sebaliknya? :/
Terima kasih kak Tiwiii, kritik dan sarannyaa.
Hehehe. :D
Sempet nggak ngeh sih di pembukaan awal . . Perasaan tu perempuan juga normal-normal aja . . Kok dikataain gila . .??
BalasHapusTapi begitu nyecroll kebawah . . Baru dong gue . .
bagus kok critanya . . pengen bisa nulis kek gitu . . tapi kemampuan diksi gue setara dengan Amfibi . . -_-
Hehehe :3
HapusYaampun kasian amfibinya disama-samain kayak kakak. :(
Hahaha becanda. :D
Ayoo coba bikin.. ikutan #memfiksikan Jumat depan. Kita belajar bareng-bareng.. Aku juga masih belajar.. Hehe :)
Bagus, bikin gue penasaran juga sih, ini alurnya mau kek gimana, menyedihkan ternyata.hahaha
BalasHapusTerima kasih udah bacaa. Hehe.. :)
HapusPas baca bingung kenapa gila twrus akhirannya kebakaran.. baca komen ternyata seperti itu.. kira2 itu imajinasinya,ilusi atau delusi ?
BalasHapusItu beneran, ceritanya cuma perempuan itu dan tokoh "aku" yang bisa melihat arwah-arwah korban kebakaran itu. Orang-orang normal nggak bisa melihatnya. Gitu, sih. Hehehe. Jadi apa namanya? :)
HapusKeren, diksinya oke banget.
BalasHapusSama, pas di awal agak nggak ngeh, ini emang musti di baca sampe selesai buat ngerti kayaknya :)
Terima kasih. :)
HapusHehehe iya ceritanya memang musti dibaca semua, masa setengah-setengah. :D
awalnya beneran bingung, sampe baca dua kali xD
BalasHapussetelah baca komennya baru ngeh,, oh gitu. okesip, bagus ko
Hahaha nggak apa-apa. Aku juga bacanya berkali-kali. xD
HapusLoh? berarti kalau nggak ada komentar di atas masih tersesat, ya? ._.
Terima kasih udah bacaa. :)
Setelah ngebaca komennya baru dah gue ngerti apa yang dimaksudkan diatas. Gue bingung sama endingnya yang begitu.
BalasHapusCeritanya bikin penasaran, gue baca terus, sampe endingnya malah bingung sendiri. Gue memang gak ngerti cerita nih, begini aja gak mudeng. hahaha
Iya kak, memang sengaja pembaca dibikin bingung.. Maapin akuu yakk hahaha :')
HapusHahaha iyaa nggak apa-apa koook.. Makasih yaa kak udah mau bacaa :3
Haseeekkk. Makin keren aja nih tulisannya Rim. Ciee yang nentuin tema kopi cieee. Fiksinya bagussss! \:D/
BalasHapusMakasiiih Devaaa~ *peluk kuat-kuat*
HapusCiee yang bilang ciee, cieee.. Terima kasiiih.. Semoga nggak tersesat ya sama ceritanya. \o/
Fiksi, ya. "Itu nama siapa, ya?"
BalasHapusPangeran mah, gak ngerti nulis ginian. Pangeran bisanya membaca dan menikmati. Kadang sedikit berbagi. Itu aja.
Tapi mulai dari malaikat, wanita gila, dan para pendukung cerita. Pangeran terenyuh dengan gaya bahasa lu Rim. "Keren, deh. Ada sensadi deg-degan dikit."
Kapan, ya. Pangeran bisa nulis fiksi. Ariel bilang : "Mungkin nanti."
Nggak ada namanya.. Terserah pembaca aja mau ngasih namanya siapa.. ._.
HapusTapi syukurlah kalau Pangeran masih bisa menikmati ceritanya.. :')
Hehehe ini juga masih belajar, kok, Pangeraan. Terima kasih yaa udah mau bacaaa~ \o/
Kopi emang selalu bisa jadi pengantar cerita yang baik. entah jadi sisipan atau inti cerita, kopi selalu menarik untuk dibaca
BalasHapusTerima kasih udah bacaa. :)
Hapuswih, endingnya sama sekali ga bisa di tebak. tapi menurut gue sih sebaiknya sosok perempuan tersebut diberi nama yaa supaya tidak terlalu misterius. juga kalau mau membelokkan ending, lebih baik dikasih runtutan cerita terlebih dahulu kenapa kok bisa berending seperti itu. seperti cerita kamu, kenapa kok tiba-tiba kafe yang ditempatin perempuan itu bisa terbakar.
BalasHapusmungkin itu saja sih saran dari gue, selebihnya udah bagus kok :)
Iyaa.. kalau soal nama, emang sengaja dibikin biar pembaca aja yang ngasih namanya. :))
HapusTerus masalah sebab dari kebakaran.. makasih banget udah ngingetin. Hahaha. Aku lupa soal itu.
Okee terima kasih banget looh kritik dan sarannyaaa. Jadi buat koreksi diri. ^^
kok....
BalasHapusahh spicless (males ngetik speachless) jadinya.
seperti biasa aku kagum sama oran yang nulis fiksi. karena aku gak bisa kykgitu :D
Ahaha itu teteup diketik juga. :))
HapusTengs yaaa (males ngetik thanks juga). :))
Hayuk belajar bareng-bareng.. Aku juga masih belajar.. ^^
Hahaha kutukan :D
BalasHapusIni ceritanya kalo cuma dibaca selewat, kayaknya gak akan ngerti, ya? Tapi, ini keren. Serius. :)
Ceritanya memang nggak ngebolehin pembaca buat baca selewat-selewat, kak. Huaha. :')
HapusIya kak, aku memang keren. *kibas bulu hidung*
Hahahaha nggak ding. Terima kasih yaaa. :D
Aku harus baca tiga kali baru bisa ngerti. Belum sepenuhnya ngerti, sih. :D
HapusOke, kamu keren!
Pffftt~ Maapin tulisan aku kaaak. Banyak yang bingung. -__- Haha
HapusTulisannya bagus, ceritanya juga.
BalasHapusMantep nih anak2 JB bikin #memfiksikan gini. Semoga makin banyak yang ikutan! :)
Syukurlah kalau suka. :)
HapusAamiin. Ayoo kakak juga ikutan! Biar makin rame, makin seru. ^^
Terima kasih ya udah baca. :D
keren ceritanya, twistnya dapet. aku fikir, kenapa cewek otu gila, apa yang salah. ternyata oh ternyata, kasihan ya itu cewek.
BalasHapusaku agak sedikit bingung sama povnya.
btw #memfiksikan itu acara apaan sih? pengen dong ikutan
Iya banyak yang bingung juga. Hehehe. Terima kasih yaa. :)
HapusIyaa ikutan yuk Jumat depaan. #memfiksikan itu diadakan setiap hari Jumat. Temanya akan ditentukan hari kamisnya. Orang yang akan menentukan temanya nanti dipilih sama Kak Tiwi. #memfiksikan ini dibikin buat kita yang mau belajar fiksi. Baik cerpen, puisi, ataupun FF. Kalau mau jelasnya cek hashtag #memfiksikan di twitter. :D
keren!
BalasHapusgue uda baca beberapa memfiksikan yang bertema kopi juga :)
fresh banget ya temanya tentang kopi...
Makasih! :D
HapusIyaa fresh kayak orang yang ngasih temanya. #halah :))
keren tulisannya :)
BalasHapusdan ga kerasa ternyata udah sampe di ending aja huhu
I want moooorrreee :p
terus ditingkatkan ya, jangan kayak aku yang ga bakat nulis fiksi hehe
Hehehe thaaanks yaa :)
HapusIya, ini juga masih belajar.. Heheh ayuk atuh belajar bareng :D
nice info, aku juga suka dan kopi itu punya banyak manfaat untuk kecantikan dan kesehatan :)
BalasHapusINI APAA?? EMANG AKU HABIS NGASIH INFO APAAN?! PFFTT. -____-
HapusAstagfirullloh...
Sedih bangeeeet.. Kenapa harus sad endiiiing.. T_T
BalasHapusKarena pada kenyataannya jarang yang happy ending.. :')
Hapusmbacanya itu... srrrr... sempat bingung dengan orang pertamanya, kalau malaikat pencabut nyawa mungkin bisa dikasi pengantarnya dikit.. hehehe... #saya hanya penikmat sastra, sama sekali nggak ngerti sastra... seperti penikmat kue yang sama sekali tidak tahu cara membuat kue... hehehe...
BalasHapusmaksudnya srrr itu... enak banget mbacanya mbak, bikin merinding juga... baguslah pokoknya, kayaknya udah bisa bikin buku sendiri... mbaknya anak sastra ya?
HapusMantaaab!!!
BalasHapushttps://www.blogger.com/profile/10930593801069617327