SOLO : Pertama Kali ke Solo!
Seringkali
apa yang sudah kita rencakan sedemikian rupa, tidak berjalan dengan semestinya.
Namun, ketika kita tidak merencakannya sama sekali, justru dengan mudahnya
terjadi begitu saja. Seperti mimpi. Ya, persis seperti yang sedang aku rasakan saat
itu. Aku tak berhenti tersenyum dan menatap dua lembar kertas bertuliskan PCI (Cilegon)
– Solo, sampai ada suara yang mengalihkan perhatianku, “Kamu mau minum?” tanyanya sambil tersenyum. Ah, laki-laki itu…,
selalu saja berhasil mencuri perhatianku. Kemudian aku hanya mengangguk dan
membalas senyumnya.
Pukul
19.30 WIB–yang ditunggu-tunggu sudah datang. Padahal baru saja aku dan dia
ingin membeli makan, makanan berat. “Hayuk
naik,” katanya. Aku bergegas mengambil tas dan membawa plastik berisi
makanan ringan yang baru saja dibeli olehnya tadi sore–ketika aku sedang pergi
untuk bertemu dengan teman Ibuku. Dia se-prepare
itu. Apalah aku yang baru packing lima
menit sebelum berangkat ke terminal. Hehe.
Kami
masuk dan memilih tempat duduk di belakang persis sekali di samping toilet. Aku
mohon jangan berpikir yang tidak-tidak. Percayalah, bukan keinginan kami untuk
duduk di sana, tapi karena tempat yang lain sudah penuh ditempati dengan yang
lain. Baru duduk saja aku sudah bisa membayangkan bagaimana aroma yang akan aku
hirup nanti ketika sudah ada yang bolak-balik untuk menggunakan toilet
tersebut. Semoga hidungku baik-baik saja.
Pukul
20.00 WIB–bis mulai berjalan keluar dari terminal. Aku tersenyum. Teringat
dengan diriku sendiri yang berkali-kali menangis di terminal ketika
mengantarnya pulang. Iya, aku secengeng itu. Namun, tidak dengan sekarang. Kini
aku berada di sampingnya, menemaninya pulang. Ehm.
Cilegon
– Solo bukan jarak yang dekat. Apalagi dengan naik bis berikut dengan drama
kemacetannya. Sekitar empat belas jam lama perjalanan yang kami tempuh. Empat
belas jam di dalam bis, kalau bukan sama dia, mungkin aku sudah tewas kebosanan.
Pukul
10.00 WIB–aku melihat pemandangan dari jendela bis, banyak plang bertuliskan
kata “Solo”. Rasanya pengin teriak-teriak norak gitu, tapi takut nanti
malu-maluin dia, akhirnya aku hanya mampu melampiaskannya dalam hati: “Yaa Allah, ini Solo? Aku di Solo? Solo,
lolololoh! Mimpi enggak, sih, ini? Yaa Gustiiii, aku sampai di Solo dengan
hidung selamaat,” teriakku dalam hati sambil nari tor-tor. Aku bersyukur
hidungku selamat dari bau pesing di bis.
Tuh,
kan, norak.
“Yuk, turun,”
ajaknya yang menghentikan teriakanku di dalam hati.
“Eh, iya hayuk.”
Dia
mengajakku berjalan kaki menuju tempat Pakdenya. Sebagai turis, aku pasrah. Seketika
ada sesuatu yang berkecamuk di perut dan jantungku. Mungkin ini yang dinamakan
cinta. Halah. Halah madrid.
Singkat
cerita, aku sudah sampai di rumah Pakde dan Budenya.
Dia,
lelaki pertama yang berkenan memperkenalkan aku dengan keluarganya. Jangan
ditanya bagaimana perasaanku waktu itu. Aku, tidak bisa mengungkapkannya.
***
Pagi
baru sampai, malamnya aku sudah diajak keluar menikmati Kota Solo. Suasana khas
Jawa yang aku rindukan. Manahan, nama tempat yang kami jelajahi malam itu.
“Rizka, mau pesan apa? Asle atau
Ronde?” tanya Mbak Nopi. (Iya, di sana aku dipanggil Rizka.
Semua karena… karena siapa lagi kalau bukan si Mas. Huhu.)
“Hmm, apa, ya?” aku
bingung.
“Aku Asle aja, kalo Ronde pedes,” sahut
Nabil.
“Kalo gitu aku juga Asle aja…” aku
kan enggak suka pedas, lanjutku dalam hati.
Sebenarnya
aku baru itu tahu ada minuman namanya Asle. Asle adalah minuman wedang khas Solo yang terdiri dari beberapa isi seperti potongan roti tawar, ketan putih, agar-agar, kacang, kemudian untuk kuahnya menggunakan santan yang sudah ditambahkan dengan garam. Kalau Wedang Ronde, sih, sudah tidak asing
lagi. Aku kira Asle itu cuma plesetan dari kata “asli”. Hehe. Aku suka Asle. Ternyata rasanya manis. Aku pikir rasanya tidak jauh beda seperti Ronde yang
agak pedas. Pedas jahe ya, bukan pedas cabe... cabean.
Nah, ini namanya Asle, (Sumber Gambar) |
Dan ini namanya Ronde. (Sumber Gambar) Hahaha. Maaf, ya, gambar wedangnya enggak ada yang ngambil sendiri. Soalnya; lupa foto. Tapi ini ada, kok, foto yang asli ngambil sendiri. |
TADAA! Kalau ini namanya para penikmat Asle dan Ronde. |
Selesai
menikmati minumannya, kami pindah tempat. Masih di daerah Manahan, kami ke Stadion Manahan Solo. Letaknya tidak jauh dari tempat beli wedang tadi. Di sana ada patung Soekarno, berdiri di antara air mancur dan lampu warna-warni. Juga
ada si Mas di sisiku. Aaah, indah sekali.
Wkwk. Geleuh, abdi teh. -__-"
Posisi patung dan air mancurnya di pinggir jalan sekali. Jadi, siapa pun yang melewati Stadion Manahan ini pasti bisa melihatnya. Kecuali, kalau dia merem. Jelas dia enggak akan bisa melihatnya. (Ya, iyaa laaah, Rim).
Aku, Air Mancur, dan Pak Soekarno |
Pak Soekarno jadi orang ketiga |
Setelah
puas berfoto, kami lanjut menelusuri Kota Solo. Ternyata aku diajak ke
Alun-Alun Solo. Seperti Alun-Alun pada umumnya, ramai. Banyak sekali jajanan di
sana… dan murah-murah. Yaa Allah, jangan salahkan aku kalau pipiku membulat.
Kami
menikmati suasana Alun-Alun Solo dengan mengendarai mobil gowes. Eh, benar
tidak, ya, namanya? ._. Pokoknya, ya, yang itu tuh… bentuknya mobil, tapi
digowes. Haha. Seperti ini, loh, bentuknya:
Jelas, kan, ya? Iya, abaikan saja yang bergaya chibi-chibi itu. Ngeselin emang. |
Penumpang mobil gowes ini terdiri dari; dua di belakang adalah Tim Gowes-Gowes
Club yang anggotanya adalah Mas dan Mbak Novi. Kemudian, dua di depan adalah Tim Anti Gowes-Gowes Club yang anggotanya aku dan Nabil.
Ehe.
Satu putaran sudah kami tempuh, tapi kami belum puas menikmati keliling Alun-Alun.
Akhirnya, kami menambah satu putaran lagi. Kasihan, sih, sama yang gowes di belakang. Soalnya enggak gantian gowesnya. Tapi, ya, gimana, ya... pokoknya Tim Gowes-Gowes Club terbaiklah! Hahaha. Maafkan adikmu yang durhaka ini, ya, mbak. >_<
Ada
satu yang menarik perhatianku waktu berkeliling naik mobil gowes, yaitu kereta
putih yang berada di pinggir Alun-Alun. Keretanya unik, model kereta jaman dahulu,
dan ada tirai renda-renda putihnya.
“Itu apa? Ke sana, yuk?” ajakku
ke Mas.
“Ngapain? Enggak, ah,” Mas
menolakku. Selanjutnya aku tak mendengar lagi dia bilang apa, aku langsung
turun dari mobil gowes dan jalan menuju kereta dengan mbak Novi dan Nabil.
Ketika
berdiri di depan kereta putih itu aku bengong. Dalam hati aku bergumam, ‘Kok, serem, ya…’
“Jadi
foto enggak, Riz?” aku tak tahu siapa yang bertanya, aku masih terpaku menatap keretanya.
“Eh,
ternyata ini kereta jenazah, ya?” katanya. DEG! Aku langsung tersadar, “Hah?
Masa, sih?”
“Iyaaa.
Lihat, deh, ini ada tulisannya.” Setelah aku lihat tulisannya, ternyata benar! Itu
adalah kereta yang digunakan untuk membawa jenazah. Aku langsung lari menuju
mobil gowes. Hiiiiii. Sungguh, aku takut setengah kilo. Eh, setengah mati. Eh,
takut banget, deh, pokoknya. Huhuhu. :((
“Kenapa?
Udah fotonya?” tanya si Mas.
“Enggak
jadi! Sereeem! Ternyata itu kereta jenazah tauu! Huhuhu.”
“Kan
udah aku bilang tadi…”
“Kapan?”
“Tadi…,
tapi kamu langsung pergi aja ke sana. Hahaha.”
Aku
hanya diam. Erh. Sial. -__-
Malam
semakin larut, kami memutuskan untuk pulang. Katanya, esok aku akan diajak ke pemandian
mata air. Wiiiih. Untuk ukuran manusia yang menyukai air seperti aku, rasanya tidak
sabar menunggu hari esok.
Terus berenang~ Terus berenang~
Terus berenang~
(To be continue) |