Lembur di Toko Sepatu
“Besok Uni sama Uda mau
belanja di Karang..” kata Uni.
“Paling perginya siang,
malam sudah pulang. Kalian bisa lembur?” Uda menambahi.
“Bisaa Uda,” aku dan Nia
menjawab dengan kompak.
***
Ini pertama kalinya aku lembur untuk bekerja. Eh, bukan.
Bahkan, ini pertama kalinya aku bekerja. Iya, liburan semester genap ini aku
mengisinya dengan bekerja di toko sepatu. Kebetulan sebentar lagi sudah mau
lebaran, pengunjung toko semakin ramai, jadi diperlukan karyawan magang
sementara seperti aku dan Nia ini. Oiya, Nia yang mengajakku bekerja di sana.
Dia pun magang.
Pertama kalinya aku bekerja; menjaga toko sepatu. Kenapa? Aku
nggak malu tuh. Justru bangga. Daripada aku liburan cuma di rumah; makan –
tidur – online, begitu terus, tidak
menghasilkan apa-apa, mending aku bekerja. Kan? :)
Lumayan agak sulit bagiku yang pelupa ini untuk mengingat
harga-harga sepatu. Seringkali bolak-balik bertanya sama Nia, Uni, dan Uda. Ah,
aku merepotkan sekali. Mau tidak mau, aku harus menghafalkan harga-harga
sepatu.
Saat itu aku dan Nia sedang duduk termenung menunggu adzan
magrib. Masih ada satu – dua pembeli yang mampir ke toko.
“Rim, beli bukaan sekarang aja kali, ya. Udah jam setengah 6,
nih.”
“Ya udah.”
“Saya atau kamu yang beli?”
“Saya aja, deh.”
“Dasar. Pasti pengin jalan-jalan keluar, kan?”
“Bukan gitu. Saya kan belum khatam sama harga-harga
sepatunya. Mau jadi apa kalo saya yang jaga sendirian?”
“Oiya, ya. Hahahaha.”
“Mau beli apa?”
“Apa aja, deh. Terserah kamu.”
Nia mengambil selembar uang yang dititipkan Uni sebelum
pergi. Uni sama Uda memang baik. Kalau lembur, gaji kami ditambah dan
ditanggung uang makannya. Aku pun bergegas membeli makanan.
Bukan Rima namanya kalau nggak bingung. Aku berniat membeli
es kelapa muda yang agak jauh, sampai di sana abang-abangnya udah tutup.
Mencari rumah makan padang yang diberitahu oleh Nia pun tidak ketemu di mana tempatnya.
Karena beberapa menit lagi sudah mau adzan, aku memutuskan untuk balik ke toko.
Daripada kami tidak berbuka dengan apa-apa, akhirnya aku membeli es kelapa muda
yang ada di depan toko sepatu ini. Kenapa
nggak daritadi aja beli di situ, Rim? Kenapa harus cari yang jauh, kalau ada
yang dekat? Iya. Bodoh memang. Ya udah, sih… Ini, kan, soal rasanya yang
berbeda. Huft. Dan benar saja, yang dekat ini nggak enak.
Kami bergantian untuk salat magrib. Selama Nia salat, aku
berdoa semoga nggak ada pembeli yang datang. Lagi-lagi, takut salah memberi
harga. Aku hina sekali.
Selesai salat, aku pergi membeli makan. Pilihannya adalah
nasi padang – pecel ayam – sate ayam – mi ayam. Nasi padang; sudah habis, pecel
ayam; terlalu mahal, sate ayam; aku malas berhentinya, akhirnya aku memutuskan
untuk beli mi ayam.
Nia terlihat kecewa saat tahu pilihanku jatuh kepada mi ayam.
Begitu dimakan, rasanya mengecewakan. Porsinya pun mengecewakan. Iya, kami
masih kelaparan.
Karena masih lapar, kami membeli martabak keju. Kali ini
pakai uang masing-masing, tidak memakai uang jatah makan kami.
“Bang, martabak kejunya satu.”
“Oke.”
Sambil menunggu, aku mengamati suasana pasar di malam hari. Samar-samar
terdengar alunan lagu anak-anak…
Dua mata saya~ Yang kiri dan
kanan~
Satu mulut saya~ Tidak
berhenti makan~
Di waktu yang bersamaan, abang-abang di sebelah penjual
martabak ini ikut melantunkan lagu anak-anak tersebut...
Dua mata saya~ Yang kiri ke
kanan~
Satu mulut saya~ Tidak
berhenti makan~
Hah? Apa tadi? Yang kiri ke kanan? YANG KIRI KE KANAN?
SYIIT! Sakit, nih, orang!
Abaikan abang yang sakit itu. Fokus pada martabak. Sudah kuduga,
martabak ini pun tak kalah rasanya dari mi ayam tadi. Aku hanya memakan
sepotong, sisanya kuserahkan pada Nia. Semangat
Nia!
Selesai makan, kami membereskan sepatu dan sandal yang
berantakan. Saat aku mau mencantolkan sepatu ke dinding atas, ada perasaan
tidak enak. Posisinya tinggi, aku yang pendek ini merasa kesulitan. Meskipun sudah
memakai kayu panjang, tetap saja sulit. Saat itu aku belum terbiasa. Dan benar
saja, sesuatu terjadi. Sepatu itu dengan indahnya jatuh menerpa sepatu-sepatu
di bawahnya.
CKLAAAAK.
Njir. Suara apa itu? Setelah aku
cek, ternyata itu suara Owl – hiasan sepatu yang lepas. OH MY OWL! Aku panik. Pengunjung toko semakin ramai. Sebentar lagi
jam 9 dan itu artinya Uni sama Uda sudah mau pulang. Aku makin panik.
“Nia, bawa uang lebih nggak?”
“Bawa. Kenapa?”
“Boleh pinjem? Mau beli lem.”
“Lem?”
“Iya, itu.. tadi…” Aku menceritakannya pada Nia.
“Hahaha. Hayoo looh. Parah si Rima… Baru juga hari kedua kerja,
udah ngerusakin barang aja. Hiiii.”
Sial. Si Nia bukannya menenangkan malah bikin makin panik. Tapi,
untungnya Nia masih punya nurani untuk menolong. Segera aku membeli lem dan
membenarkan sepatu tersebut. Fiuh. Sebelum Uni dan Uda pulang, sepatu itu pun
kembali seperti sediakala. Maafkan aku,
Uni.. Uda…
Lembur yang melelahkan dan berkesan…
***
Hari keempat di toko…
“Terima kasih, Ibu..”
“Iya, sama-sama..”
Setelah berlama-lama memilih, akhirnya Ibu itu pun membeli. Sandal-sandal
yang berantakan, segera kubereskan. Ada satu yang mengganjal…
“Ada apa, Rima?” tanya Uda yang melihatku kebingungan.
“Ini.. sandal.. sebelahnya mana, ya?”
Uda dan Nia bantu aku mencari.
“Ini ada…”
“Oiya. Hahaha.”
Begitu aku pasangkan dengan sebelahnya, ada yang aneh. Sandal
ini besarnya tidak sama. Setelah aku cek, ternyata ukurannya berbeda. 38 dan
40. Allahuakbar. Aku langsung keluar
toko, mencari Ibu itu. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya Ibu itu sudah pulang.
Aku masuk ke toko dengan wajah penuh sesal. Aku meminta maaf
sama Uni dan Uda. Aku benar-benar merasa tidak enak. Baik dengan Uni dan Uda,
juga dengan Ibu yang membeli sandal tadi. Kasihan… Ibu itu pasti tidak bisa
memakai sandalnya. :(
Berhari-hari kerja di toko, aku menunggu Ibu itu, dan ia tak
kunjung kembali. Mungkin rumahnya jauh. Ah, kalau saja aku tahu rumahnya, akan
kuantarkan sandal ini. Siapa tahu Ibu itu punya anak cowok yang cakep. Sekalian
minta dikenalin. :(
“Rim, Ibu itu udah balik lagi?”
“Belum..”
“Hari keberapa waktu salah kasih sandal itu?”
“Hari keberapa waktu salah kasih sandal itu?”
Aku coba menghitung, “Keempat.”
“Rim, jangan-jangan ‘hari genap’ itu hari sial kamu.”
Aku langsung flashback kejadian
hari kedua dan keempat. Ya Allah… Masa iya? Ah, sialan si Nia. Apa-apaan itu
hari sial? Aku nggak percaya. Ini semua karena akunya saja yang tidak teliti
dan tidak hati-hati. Ini pelajaran buatku. Aku harus lebih hati-hati dan lebih
teliti lagi saat melakukan sesuatu.
Aku hanya berdoa, semoga Uni dan Uda tidak kapok telah
menerimaku bekerja di tokonya. Dan semoga Ibu itu segera kembali untuk
menukarkan sepatunya yang salah ukuran. Aamiin. :(
***
Sekarang aku sudah tidak bekerja lagi di toko Uni sama Uda. Aku
hanya bekerja sampai lebaran saja.
Untuk Nia, terima kasih sudah mengajakku bekerja di sana.
Untuk Uni dan Uda, terima kasih sudah menerima Rima bekerja
di toko. Banyak pelajaran yang bisa Rima ambil di sana. Kalau ada waktu, Rima
boleh mampir ke toko lagi kan? Hehehe. Semoga sehat selalu ya, Uni.. Uda...
Untuk pembaca, terima kasih sudah membaca awal atau akhirnya
saja, terima kasih sudah membaca dari awal sampai akhir. Kepanjangan, ya? Rasakeun.
:p
Hehehe. :*
Gue jadi inget emak gue yg beli sandal beda ukuran. Pas sampai rumah dia jg baru sadar. Mau tukar tapi jauh. Alhasil ga dipake. Jangan2 itu emak gue Rim :(
BalasHapuswkwkwwkw. Bisa jadi, Rul.
HapusAkhirnya ibu-ibu yang ditunggu Rima, telah terjawab di komentar ini.
*berasa film jalinan kasih.
jadi pelajaran buat ke depannya mesti teliti :)
BalasHapusWaduh ada ada aja ya. :))
BalasHapusGue kalo jadi si ibunya pasti emosi sendalnya kanan kiri beda gitu. Huhuhu.
Sendal yang tertukar, #ehhh
BalasHapusYa ampun? bisa ketuker gitu? terus sekarang gimana? kabarnya gimana? kamu dikabari temen kamu kalau ibuknya udah balik enggak?
BalasHapusIni harus dikasih tau sama Uni dan Uda, lu udah ngerusakin sepatu orang! Dibenerinnya cuma pake lem lagi. Lemper isi ayam.
BalasHapusDasar perusak! Hati sendiri rusak! Wakakakaka.
Sendal yang tertukar, wah cocok dijadiin judul ftv nih heehe, kasian juga si emak itu tapi dianya juga ga teliti pas membeli ye kan?
BalasHapuskasian ibunya make sendal gede sebelah :'D
BalasHapusoh, syittman. Sendal yang tertukar :')
mungkin lelah ya,jadinya kurang fokus :)
BalasHapusdijadikan pelajaran aja.
Parah banget Rima parah waaaaa~~~
BalasHapusKan, kan, teledornya gak jauh beda sama aku kan :(
Untung aku gak pernah mau kerja kayak gitu, bukan malu, cuma ngeri ngerusakin aja :(
baca ini, aku jadi ingat pas liburan abis kelulusan SMP dulu. Aku juga kerja selama sebulan rim, bangga banget rasanya. :D
BalasHapusWaduh, sampe salah ukuran gitu. Kasian ibu-ibunya ya,
eee tapi kayaknya ibu itu sengaja deh beli sandal nya yg beda ukuran gitu. Mungkin hobi nya make sendal yg beda ukuran. (lah memang ada hobi begituan) :D
Seru juga ya rim latian kerja nyata tu namanyaa
BalasHapusEh itu tokonya mang di padang
Kesian ibu-ibunya :(
BalasHapusGua kalo jadi anaknya, bakal protes besar2an.. kalo perlu bakar ban! ban tamiya..
ngomongin soal sepatu jadi ingat kasusku rim, kasus mencari sepatu untuk acara wisuda. Ternyata mencari separy\u ukuran 44 di kota kecil seperti purwokerto itu sangat sulit, sampai-sampai seharian keliling puluhan toko sepatu gak ada yang punya stock ukuran 44 -_- tapi alhamdulillah sih, masih saja Tuhan berbaik hati dengan memberi kejutan, bahwa ternyata masih ada stock sepatu ukuran 44 satu satunya di purwokerto . Ternyata punya ukuran kaki 44 itu susah sekali untuk mencarinya, fyi saja ukuran sepatu 44 itu sudah minimal, biasanya aku pake ukuran sepatu 45 -_-
BalasHapusHahahaha.... Kacau Rima.
BalasHapusJangan diulangi lagi ya, Nak.
Itu Kesalahan yg sangat fatal banget ya.. Hehe
BalasHapusBeli es kelapa, mie ayam sama martabak keju, nggak ada yang rasanya bener-bener enak. Kasyihan :""
BalasHapusSetelah membaca cerpen diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa tokoh uda dan uni yang kamu sebutkan itu pastilah orang minang. Dan menurut tebakan saya toko sepatu dan latar dari cerita ini adalah kota padang atau pun salah satu daerah yang ada di sumatra barat....
BalasHapusKalau betul, keren aja. Soalnya saya juga orang asli padang dan sekarang menetap di Jakarta :D